UUD 1945 pasal 31 ayat (1), “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Dengan jelas, pemerintah memberikan jalan melalui konstitusi bagi seluruh warga negara Indonesia untuk mengenyam pendidikan. Wajib belajar sembilan tahun (Wajar 9 tahun), dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kejar Paket A, Kejar Paket B, Kejar Paket C, dan terobosan-terobosan lain dunia pendidikan Indonesia secara berangsur-angsur diluncurkan pemerintah melalui mata rantai dari pusat hingga daerah. Aspek teknologi, negara kita bukan termasuk negara yang memiliki keterbelakangan dalam teknologi. Terbukti, banyak pelajar Indonesia yang mampu menghasilkan karya inovatif di kancah regional ataupun internasional. Kondisi yang demikian seolah-olah mengisyaratkan bahwa tidak ada lagi hambatan bagi setiap anak bangsa untuk berkembang melalui pendidikan. Ditinjau dari segi hukum, ekonomi, infrastruktur, teknologi, sosial, dan budaya, pemerintah bersinergi dengan masyarakat dan instansi yang terkait telah memberikan akses yang mudah dalam memperoleh pendidikan. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak ketimpangan pendidikan di sana-sini. Mengapa bisa demikian? Apa yang harus diperbaiki?Berbicara sebab-musabab sebuah masalah, pendidikan Indonesia memiliki banyak ketidakselarasan yang menjadi faktor kunci munculnya problematika. Namun, di antara sekian banyak faktor tersebut, ada satu hal yang seharusnya menjadi titik fokus perhatian untuk diselesaikan. Menurut pendangan pribadi, tidak adanya kesesuaian dan kesinambungan antara kurikulum yang menjadi dasar pendidikan Indonesia dengan praktik di lapangan adalah jawabannya. Benar, kurikulumnya yang harus diperbaiki. Adapun alasannya sebagai berikut.
1. Kurikulum yang digunakan sering kali tidak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Sebab, terdapat dua mainstream dalam kurikulum yang saat ini kita gunakan, yakni Amerika dan Belanda sebagai warisan zaman penjajahan. Hal ini sangat terlihat di jenjang Perguruan Tinggi, sebagai contoh buku referensi, leveling system, budaya ilmiah, dan bahkan penulisan gelar.
2. Standarisasi kurikulum yang diterapkan. Perlu ditekankan bahwa dalam banyak segi kehidupan, antara masyarakat di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua terdapat kesenjangan yang besar. Bagaimana mungkin yang demikian dipatok dalam satu standar utama yang dipaksakan?
Tidak akan pernah habis ketika kita hanya menguliti kekurangan dan kesalahan yang ada. Sekarang bukan saatnya mempersoalkan siapa yang salah, tetapi bagaimana cara kita memperbaiki kesalahan tersebut. Menurut hemat saya, yang pertama harus dilakukan adalah merevisi landasan utama kurikulum pendidikan kita yang bisa diterapkan secara menyeluruh dan kompatibel dengan berbagai kondisi yang ada di masyarakat Indonesia di berbagai penjuru nusantara. Hal yang lebih penting lagi adalah kurikulum tersebut haruslah bertahan lama, tidak sekadar lima tahun kemudian berganti lagi dengan yang baru. Sebab, berhasilnya proses pendidikan tidak bisa dilihat secara instan. Memang, solusi ini membutuhkan energi dan biaya, tetapi harus kita ingat bahwa ini merupakan sebuah bentuk investasi masa depan bangsa. Ketika kurikulum sudah mampu berdiri dengan kokoh, segala peraturan dan kebijakan yang mengiringinya mampu diturunkan dengan mudah. Semoga.
0 comments:
Posting Komentar