Indonesia is a big country. Although there are many kinds of natural resources, Indonesia has a big amount of national debt. Inability to manage natural resorces and as a compensation of the debt, our goverment creates a privatization as a policy to allow people or company from other country to invest their money to state-owned company and also getting the nett profit. Privatization is the cause factor of unoptimal revenue from public ownership properties. It makes the nett profit from our country can not be distribute to whole Indonesian. Basicly, privatization againsts the regulation of economic system in this country that is UUD 1945. According to the regulation, natural resources which is generally owned by Indonesian has to be explored for the poverty of society. The writer try to give a solution in sharia perspective. How public ownership in sharia, managing the country revenue, and the role of the government. Beside that, in this paper also describes an accounting for our natural resources revenue that can make our national debt paid off during two years as the amount of Rp 1764, 45 quintillion. The poin of view of this paper is explain how sharia can save and solve many problem of economics. Hopefully, the society is getting awared that by enrolling sharia principles, we can settle the national debt and the advantages of natural resources can be distributed evenly.
Keywords: Privatization, public ownership, and sharia principles.
Pendahuluan
Utang erat hubungannya dengan pengelolaan kekayaan. Dalam skala besar seperti sebuah negara, pengelolaan yang tidak optimal menyebabkan hilangnya pendapatan negara. Penyebab dari tidak optimalnya pengelolaan kepemilikan umum tersebut bisa beraneka ragam. Salah satunya adalah tidak adanya pemahaman yang baik terhadap kepemilikan umum yang ada di suatu negara. Di Indonesia saat ini, kepemilikan umum seperti minyak bumi, gas, batubara, pertambangan, kelautan, dan hutan tidak lagi dimiliki oleh rakyat sacar utuh. Bisa dikatakan, hak kepemilikannya telah dirampas oleh asing melalui peran pemerintah. Kebijakan pemerintah dengan melakukan privatisasi sektor publik di negara ini menjadi masalah utama kegagalan optimalisasi pendapatan yang mengakibatkan utang luar negeri tidak bisa dilunasi dengan segera. Banyak orang menduga bahwa pemasukan terbesar negara ini adalah dari pajak. Padahal, hasil kekayaan alam yang selama ini belum dikelola secara optimal merupakan sumber pemasukan terbesar sesuai dengan perhitungan pada bab selanjutnya.
Sebagai akar permasalahan, privatisasi tentunya menjadi titik berat probematika. Privatisasi pada hakikatnya adalah pemindahan kepemilikan aset-aset milik negara kepada swasta dan asing (Mansour, 2003). Sangat jelas terlihat dari pernyataan di atas bahwa privatisasi tidak memihak pada kepentingan rakyat sebagai pemilik sah kekayaan alam. Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN mengaburkan makna privatisasi dengan menambahkan alasan, yaitu dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham masyarakat. Kenyataannya, privatisasi yang terjadi tidak seperti yang digambarkan pemerintah melalui undang-undang tersebut. Kepemilikan saham oleh masyarakat bukan berarti memiliki kesempatan yang sama, melainkan lebih mengakomodasi masyarakat kalangan tertentu yang memang memiliki kemampuan untuk membeli saham (investor).
Di Indonesia sendiri, privatisasi telah terjadi sejak rezim Orde Baru. Kebijakan privatisasi pada masa Orde Baru ini dilakukan pemerintah untuk menutupi pembayaran utang luar negeri Indonesia yang kian tidak terkendali. Sejak berada dalam pengawasan IMF melalui hutang luar negeri, Indonesia ditekan untuk melakukan berbagai reformasi ekonomi struktural yang didasarkan pada kepitalisme-neoliberal. Reformasi tersebut meliputi (1) campur tangan pemerintah harus dihilangkan, (2) penyerahan perekonomian Indonesia kepada swasta (swastanisasi), (3) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dengan menghilangkan segala bentuk proteksi dan subsidi, (4) memperbesar dan memperlancar arus masuk modal saing dengan fasilitas yang lebih besar (Sritua Arif, 2001). Saat ini, dari 135 BUMN, tinggal 69 yang dimiliki pemerintah dan jumlahnya ditaksir akan terus berkurang hingga 25 di tahun 2015.
Dalam menanggapi kondisi yang demikian, ada satu solusi yang bisa menjawab permasalahan pengelolaan kepemilikan umum sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yakni melalui sistem syariah pada sektor ekonomi dan kebijakan. Sistem syariah yang secara khusus membahas ekonomi memberikan peluang yang sangat besar dalam pengentasan kemiskinan melalui distribusi kekayaan. Hal tersebut secara eksplisit telah diuraikan oleh konstitusi negara. Sistem pengelolaan kekayaan barang-barang umum sesuai prinsip syariah memberikan keadilan bagi masyarakat sebagai pemegang hak milik penuh atas berbagai kekayaan alam yang ada di negara ini. Solusi yang ditawarkan di sini dapat dilakukan tanpa harus mencipatkan kebijakan baru. Sebab, undang-undang telah memberikan keleluasaan bagi prinsip syariah untuk menerapakan sistemnya dalam sektor ekonomi khusunya pengeloalaan kepemilikan umum.
1.1 Peraturan Kepemilikan Umum dalam Undang-Undang
Pengelolaan kekayaan umum di Indonesia secara jelas termaktub dalam undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (2) yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan ayat (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Jelas bahwa rakyat memiliki hak atas kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia. Peraturan menjadi rujukan awal untuk mengelola kekayaan Indonesia meskipun strata peraturan di bawahnya memberikan penjelasan lain yang dinilai tidak sesuai.
1.2 Pengelolaan Kepemilikan Umum dalam Syariah
Hakikat kepemilikan dalam Islam secara mutlak adalah milik Allah. Manusia hanya sebagai pemegang amanah saja. Sebab, Allah adalah pencipta segalanya, menciptakan sumber produksinya, dan memudahkan sarana untuk memanfaatkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q. S. An-Najm : 33.
Islam mengenal tiga macam kepemilikan, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kepemilikan individu adalah harta yang dimiliki oleh individu atau beberapa individu. Kepemilikan umum adalah harta yang kemanfaatannya dimiliki oleh semua orang dan tidak boleh dikuasai secara tidak adil oleh satu pihak termasuk negara. Kekayaan alam yang menjadi pokok permasalahan tidak meratanya distribusi di negara ini termasuk dalam kepemilikan umum. Sedangkan, kepemilikan negara meliputi harta atau aset milik negara (baitul maal).
Kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) menurut An-Nabhaniy dalam kitab An-Nizham Al-Iqtishadiy Fiil Islam adalah izin as-Syari' (Allah SWT) kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh as-Syari' bahwa benda-benda tersebut adalah untuk suatu komunitas, di mana mereka masing-masing saling membutuhkan, dan melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok kecil orang. Dari pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok.
Pertama, fasilitas umum. Adapun yang dimaksud dengan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum, di mana ketiadaan barang tersebut dalam suatu negeri atau dalam suatu komunitas akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan dalam mencarinya. Rasulullah SAW telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadits. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda : “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api” (HR Abu Daud). Anas r.a. juga meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas ra. tersebut dengan menambahkan “wa tsamanuhu haram” (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk diperjualbelikan.
Kedua, bahan tambang yang tidak terbatas (sangat besar). Bahan tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni bahan tambang yang jumlahnya terbatas (sedikit) dan bahan tambang yang jumlahnya tidak terbatas (sangat besar). Bahan tambang yang jumlahnya sedikit dapat dimiliki secara pribadi. Hasil tambang seperti ini akan dikenai hukum rikaz (barang temuan) sehingga harus dikeluarkan 1/5 bagian (20 persen) darinya. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar terkategorikan sebagai milik umum dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Ketiga, benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki secara perorangan. Benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah individu untuk memilikinya, maka benda tersebut adalah benda yang termasuk kemanfaatan umum, seperti jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya. Adapun barang-barang yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal di atas antara lain masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Kota Mina adalah tempat parkir unta bagi orang yang lebih dulu (datang). (Maksudnya tempat untuk umum).”
Dari penjabaran di atas, jelas bahwa negara memiliki kewajiban untuk mengelola kekayaan seperti minyak bumi, gas, batubara, kelautan, dan hutan secara benar. Tidak dibenarkan menjual harta kepemilikan yang bukan haknya melalui cara apapun termasuk undang-undang.
2.1 Realita Pengelolaan Kepemilikan Umum di Indonesia
Indonesia memiliki berbagai kekayaan alam yang menurut amanah undang-undang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Akan tetapi, realita yang terjadi tidak demikian adanya. Melalui privatisasi, kekayaan alam negara ini mengalir ke luar negari dan tangan individu tertentu. Kebijakan privatisasi di Indonesia telah diatur sedemikian rupa seperti yang tertuang dalam dokumen milik Bank Dunia yang berjudul, Legal Guidelines for Privatization Programs. Dalam dokumen ini terdapat panduan bagi pemerintah bagaimana melakukan kebijakan privatisasi dengan menghilangkan persoalan segi hukum, antara lain memastikan tujuan pemerintah dan komitmennya terhadap privatisasi, mengubah undang-undang atau peraturan yang menghalangi privatisasi, menciptakan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menerapkan kabijakan privatisasi, dan menghindari kekosongan kewenangan yang menyebabkan privatisasi tidak dapat dijalankan.
Di tengah transisi ekonomi Indonesia menuju liberalisasi sektor publik, banyak kekayaan negara (BUMN) yang telah dimiliki oleh individu dan perusahaan tertentu. Akibatnya, hasil operasi BUMN tersebut jatuh kepada pemegang saham. Terhitung dari minyak bumi (yang dikelola Exxon, Shell, Caltex), bahan tambang (Freeport, Newmount), hutan (perusahaan HPH), jalan tol (perusahaan pengelola jalan tol), dan lain sebagainya. Ini adalah kenyataan yang harus dihadapi masyarakat Indonesia. Kekayaan yang semestinya mampu digunakan untuk menutupi pembayaran utang luar negeri Indonesia justru mengalir dan dinikmati segelintir golongan.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan tentunya memiliki andil besar dalam privatisasi sektor publik tersebut. Berbagai peraturan yang sejatinya melegalkan privatisasi sengaja dibuat dengan berbagai motif, salah satunya motif mencari sumber pendanaan modal kampanye. Undang-undang yang selama ini menjadi jalan utama berkembangnya privatisasidi Indonesia adalah UU Migas No. 22 Tahun 2001, UU HPH No. 5 Tahun 1990 dan UU No. 41 Tahun 1999, UU Penanaman Modal Asing No. 25 Tahun 2007.
2.2 Potensi Kekayaan Alam Indonesia
Terdapat lima jenis kekayaan alam Indonesia yang menjadi sumber utama pembahasan kali ini, yakni minyak bumi, gas dan batubara, barang tambang, kelautan, dan hutan. Berikut ini adalah kalkulasi sederhana kekayaan dari kelimanya jika dikelola sesuai prinsip syariah yang penulis dapatkan dari berbagai sumber.
a. Minyak Bumi
Produksi minyak Indonesia 950.000 barrel per hari. Sementara, harga minyak US$ 65 per barrel dengan nilai tukar Rp 9000/US$ maka nilai minyak ini sekitar Rp 202 triliun. Kemudian biaya produksi dan distribusi minyak ditaksir hanya 10 persen dari pendapatan bersih yang diterima, maka nett profitnya masih di atas Rp 182 triliun. Keuntungan ini tercapai bila seluruh hasil minyak dijual dengan harga pasar (yakni US$ 72 per barrel) dan hasilnya yang dikembalikan ke umum melalui baitul maal (APBN). Indonesia adalah nett-importer minyak, karena kebutuhan minyak 1,2 juta barrel/hari, akibat politik energi selama ini tertumpu pada minyak, termasuk lambatnya pembangunan jaringan elektrifikasi kereta api.
b. Gas dan Batubara
Produksi gas (LNG) adalah setara 5,6 juta barrel minyak per hari. Akan tetapi, harganya di pasar dunia hanya 25 persen harga minyak sehingga nilainya sekitar Rp 297 triliun dengan nett profit sekitar Rp 268 triliun. Produksi batubara adalah setara 2 juta barrel minyak per hari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50 persen harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 212 triliun dengan nett profit sekitar Rp 191 triliun.
c. Barang Tambang
Produksi pertambangan terutama emas seperti Freeport atau Newmont hanya dapat ditaksir dari setoran pajak yang jumlahnya cukup besar. Bila percaya nilai pajak Freeport sebesar Rp 6 triliun per tahun, dan ini baru 20 persen dari nett profit, artinya nett profit sebesar Rp 30 triliun per tahun. Dari sumber lain diketahui produksi emas di Freeport adalah sekitar 200 kg emas murni per hari. Bersama perusahan tambang mineral logam lainnya, yakni emas juga timah, bauksit, besin juga kapur, pasir, dan lain-lain nett profit pertambangan minimal Rp 50 triliun / tahun.
d. Kelautan
Untuk produksi laut karena dilakukan secara bebas oleh nelayan swasta baik kecil maupun besar, tentu agak sulit untuk memasukkannya sebagai penerimaan negara. Menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata sekitar US$ 82 milyar (Rp 738 triliun). Bila ada BUMN kelautan ikut bermain di sini dengan ceruk 10 persen, sekitar Rp. 73 Triliun.
e. Hutan
Luas hutan kita adalah 100 juta hektar. Agar lestari, siklus 20 tahun, setiap tahun hanya 5 persen tanamannya yang diambil. Bila dalam 1 hektar hutan, minimalnya 400 pohon, hanya 20 pohon per hektar yang ditebang. Dengan asumsi kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp 2 juta (nett profit Rp 1 juta), maka nilai ekonomis dari hutan kita adalah Rp 2000 triliun (karena sudah banyak hutan rusak, asumsikan Rp. 1000 triliun masih didapat).
Perhitungan di atas menggunakan asumsi minimal. Artinya, tidak menutup kemungkinan bahwa hasil yang akan diperoleh jauh lebih besar dibandingkan data di atas. Hanya saja, semua itu saat ini belum bisa dimiliki oleh rakyat Indonesia mengingat masih dikuasainya berbagai kepemilikan umum negara oleh pihak asing. Jika dilihat dari banyaknya pemasukan, utang Indonesia dimungkinkan lunas dalam waktu setidaknya dua tahun. Banyaknya keuntungan kekayaan alam yang lari ke luar negeri menyebabkan negara ini tidak memiliki cadangan yang digunakan untuk menutup utang luar negeri. Sebab, semua pemasukan dari pajak atas kepemilikan-kepemilikan tersebut habis untuk penyelenggaraan negara.
Tabel 1. Penerimaan APBN Sektor Kepemilikan Umum
Kepemilikan Umum Penerimaan
(Triliun Rupiah)
Minyak 182,25
Gas 268,35
Batubara 191,25
Emas dan Mineral 50,25
Kelautan 73,35
Hasil Hutan 999
Jumlah 1.764,45
(Sumber: Amhar, 2010. Diolah)
2.3 Syariah Menjawab Solusi Utang Indonesia
Sesuai dengan pemaparan sebelumnya, bahwa kepemilikan umum diserahkan kepada negara sebagai pengelola untuk mendistribusikannya dan mendapatkan keuntungan yang optimal bagi negara dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, semua itu membutuhkan beberapa langkah, yakni sebagai berikut :
1. Melakukan nasionalisasi atas segala bentuk kekayaan alam yang menjadi hak setiap warga negara Indonesia.
Hal ini sesuai dengan prinsip syariah tentang batasan kepemilikan publik. Dalam syariah, pengelolaan terhadap kepemilikan umum pada dasarnya dilakukan oleh negara dan kemanfaatannya dinikmati oleh masyarakat umum. Masyarakat umum bisa secara langsung memanfaatkan dan mengelola barang-barang tersebut jika dapat diperoleh tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar. Sementara, jika barang-barang tersebut membutuhkan biaya yang besar, pengelolaannya diserahkan kepada negara untuk didistribusikan kepada seluruh rakyat. Hubungan negara dalam kepemilikan umum hanya sebatas mengelola dan mengaturnya untuk kepentingan umum. Negara tidak boleh menjual aset-aset umum.
2. Pemerintah mempertegas peran negara.
Peran negara yang dimaksud di sini adalah peran negara sebagai fungsi alokatif, fungsi distributif, dan fungsi stabilitatif. Fungsi alokatif yaitu negara mengalokasikan anggarannya guna menyediakan kepentingan (barang-barang publik). Tanggung jawab penyedia barang-barang publik ini diserahkan kepada negara karena sangat penting bagi masyarakat. Selain itu, negara juga harus melakukan manajemen yang baik termasuk mempersiapkan sumber daya manusia yang baik dan cakap dalam memenuhi kebuthan masyarakat.
Fungsi distributif yaitu tugas mendistribusikan kekayaan kepada seluruh masyarakat dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan pada segelintir orang. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“Hendaklah harta itu tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS al-Hasyr [59]: 7).
Fungsi stabilitatif adalah negara mengantisipasi instabilitas ekonomi. Intervensi oleh asing tidak akan ditoleransi oleh negara. Dengan potensi sumber daya alam yang sangat besar dan kemandirian ekonomi negara, ancaman sabotase dan boikot pihak asing tidak berarti apa-apa.
3. Menghindari adanya intervensi asing dengan mendirikan badan yang secara tegas mampu menangani pengelolaan kepemilikan umu.
Selama ini, pemerintah berdalih tidak memiliki kemampuan dalam pengelolaan sumber daya alam sehingga memaksa pemanfaatannya diserahkan kepada asing. Oleh karena itu, negara ini membutuhkan adanya suatu lembaga yang mampu menjamin distribusi kekayaan atas kepemilikan umum kepada masyarakat. Berikut ini ditampilkan bagan tentang pengelolaan kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara secara menyeluruh berdasarkan prinsip ekonomi syariah.
Bagan 1. Pembagian Pengelolaan Kepemilikan Individu, Umum, dan Negara
(Sumber: Dwi Condro, 2010)
Kesimpulan
Sangat jelas bahwa syariah memberikan porsi yang tegas terhadap peran negara, yakni mengelola kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kebijakan privatisasi dengan dalih apapun tidak akan memberikan keuntungan bagi negara. Sebab, baik dari sudut pandang syariah ataupun regulasi yang berlaku di Indonesia, kebijakan privatisasi sangatlah bertentangan. Melalui pengelolaan kepemilikan umum secara syariah, diharapkan pendapatan dari kekayaan yang dimiliki Indonesia mampu menutupi utang Indonesia selama ini.
0 comments:
Posting Komentar