Where do we stand? Sebuah kalimat tanya yang singkat. Jawabnya pun cukup sederhana. Setiap orang senantiasa berada di tengah komunitas dengan berbagai skala. Akan tetapi, tidak semua manusia mampu menerjemahkan keberadaan itu dengan baik, sekalipun dirinya merasa berada di tengah kumpulan manusia yang mengakui keberadaannya. Sebagian orang menyebut masyarakat sebagai tempat di mana setiap insan berkesempatan mengaktualisasikan diri. Sebagian yang lain ada juga yang menyebutnya lingkungan untuk berinteraksi. Sedangkan, aku menyebutnya sebagai medan pertarungan. Pertarungan dalam konotasi positif dan konotasi negatif. Sejauh mata memandang, sejauh itu pula diri ini mengartikan. Tak perlu dipungkiri lagi, kenyataan di lapangan mengatakan demikian. Semua orang bersaing dalam banyak segi kehidupan. Seseorang yang dulunya saudara bisa menjadi musuh bersama dan kawan bisa juga jadi lawan. Itulah fakta yang terjadi. Kehidupan sosial bukan lagi berfungsi sebagai penyeimbang ketimpangan masyarakat, melainkan sebagai media pemuas kebutuhan. Suatu ketika, satu keluarga menangis kelaparan, tapi tetangganya dengan mobil baru justru berkeliaran. Banyak anak putus sekolah karena biaya, tetapi yang berkemampuan lebih dalam hal finansial justru mengesampingkan urusan sekolah. Ada lagi satu contoh, ketika mereka yang hidup dengan hegemoni dunia barat bertemu dengan golongan yang setia menegakkan syariat, sedikitpun tidak ada rasa malu yang mengalir di urat. Betapa jauh pergeseran fungsi sosial di masyarakat kita telah mengubah pola pikir masyarakat.
Di lain pihak, tidak sedikit pula di antara manusia yang juga menjadikan kehidupan dunia ini sebagai medan persaingan. Hanya saja, persaingan di sini berupa berlomba-lomba dalam menuju kebaikan. Inilah fenomena yang terjadi. Ada banyak rupa perangai manusia. Permasalahannya adalah keanekaragaman rupa itu diterima begitu saja dengan mudah. Akibatnya, yang salah semakin salah, yang baik semakin baik meskipun sekadar untuk diri sendiri. Suka atau tidak itu semua terjadi di sekitar kita. Lantas, apa yang harus kita lakukan? Apakah hanya dengan mengkritisi kemudian semuanya akan berubah? Tentu tidak.
Sebagai seorang pemuda yang menjadi bagian dari masyarakat, merupakan sebuah kewajiban bagi kita untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial. Penekanannya ada pada stategi untuk menemukan solusi yang tepat. Selama ini, rata-rata pemuda berusaha memberikan kontribusi dan peran bagi masyarakat melalui suatu komunitas yang berbasis banyak hal. Ada agama, politik, hobi, gaya hidup, dan lain sebagainya. Padahal, lagi-lagi kenyataan di lapangan membuktikan bahwa hanya sebagian kecil pemuda yang antusias bergabung dalam basis-basis tersebut. Persoalannya kemudian, apa peran sebagian yang lain? Bukankah seharusnya mereka juga bisa diberdayakan? Ini titik berat yang belum banyak disentuh.
Ketika terjadi gempa, banyak rumah roboh. Rehabilitasi dilakukan di berbagai sektor kehidupan, termasuk pembangunan gedung-gedung dan rumah. Pernahkah kita sadar bahwa semua proses pembangunan itu dimulai dari pondasinya satu per satu, baik rehabilitasi gedung maupun manusia. Inilah analogi yang akan menghantarkan pada solusi peran pemuda dalam masyarakat. Sebuah proses tentunya harus dimulai dari dalam. Bagaimana menyadarkan para pemuda? Jikalau memang caranya harus satu persatu, tidak masalah. Hal ini lambat laun akan menjadikan pemuda peduli meskipun secara individu. Seperti teori Price Volatility dari Al-Ghazali, yang kurang lebih menyebutkan bahwa tidak apa-apa menurunkan suatu harga barang. Sebab, dalam jangka panjang, keputusan tersebut akan memberikan keuntungan yang lebih. Sama halnya dengan pemuda, tidak masalah kita membangunnya satu demi satu. Setidaknya, dengan itu akan muncul kepedulian. Kemudian, suatu hari benar-benar bisa diberdayakan bersama-sama. Adapun contoh peran pemuda dalam lingkup kecil dan individu adalah dengan mencontohkan dan mengaplikasikan apa yang mereka dapatkan di bangku pendidikan. Sebab, hal itulah yang termudah yang mempu mereka lakukan.
0 comments:
Posting Komentar